Sekolah Bertaraf Internasional yang dirintis pada 100 sekolah SMP,
SMA/SMK, di seluruh Indonesia yang mulai 23-29 April 2010 menerima siswa baru,
merupakan bentuk komersialisasi pendidikan yang dahsyat. Ini jelas akibat
merajalelanya komersialisasi pendidikan.
Proyek ini adalah metamorfosis dari sekolah unggulan, dan Kelas
Internasional, yang selama ini menjalankan komersialisasi pendidikan. Kelas
internasional yang kurikulumnya, sepenuhnya merujuk ke Cambridge atau
International Baccalaureate pembayarannya amat mahal, ujar Ketua Komite SMA 70
Jakarta Musni Umar di Jakarta.
Sebagai contoh, SMA 70 yang membuka kelas internasional beberapa
tahun lalu, dan menjadi sekolah unggulan, uang masuk yang dikenakan persiswa
mencapai Rp 31 juta. Tahun pertama dan tahun kedua, masing-masing Rp 25 juta,
belum termasuk uang semester, yang dibayar enam bulan sekali.
Maka, menurut Musni, kelas internasional bisa disebut tingkat
komersialisasi pendidikan yang tinggi dan misterius. Selain mahal, dan mendapat
subsidi dari pemerintah Rp 500 juta, pengelolaan keuangannya tidak transparan.
Pasalnya, sebut Musni, hanya pengelolanya dan kepala sekolah yang
tahu. Selain itu, tiap tahun pengelola kelas internasional harus membayar dalam
jumlah yang besar ke Cambridge.
Tahun lalu, menurut Musni, para siswa baru kelas reguler SMA 70
harus membayar Rp 11 juta, ditambah Rp 450.000 perbulan, dan kelas akselerasi
Rp 1 juta per bulan. Dengan pembayaran sebesar itu, masih banyak orang tua
siswa yang mengeluh dan merasa berat, apa lagi kalau diberlakukan sekolah
bertaraf internasional yang syaratnya harus mandiri keuangan dan kurikulum.